KELIHATANNYA tidak hanya aku yang tersiksa
dengan keadaan tidak sehat ini. Raihana mungkin merasakan hal yang sama. Tapi
ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai
dengan kesabaran. Perempuan Jawa yang selalu mengalah dengan keadaan. Yang
salalu menormorsatukan suami dan menomorduakan dirinya sediri. Karena ia
seorang yang berpendidikan, maka dengan nada diberani-beranikan, ia mencoba
bertanya ini-itu tentan perubahan sikapku. Ia mencari- cari kejelasan apa yang
sebenarnya terjadi pada diriku. Tetapi selalu saja menjawab,"tidak ada
apa-apa kok mbak, mungkin aku belum dewasa! Aku mungkin masih harus belajar
berumah tangga, mbak!"
Ada kekagetan yang kutangkap
dalam wajah Raihana saat kupangil "mbak" ? . panggilan akrab untuk
orang lain, tapi bukan untuk seorang istri.
"kenapa mas
memanggilku"mbak"? aku ’kan istri mas. Apakah mas tidak
mencintaiku?" tanyanya dengan gurat sedih tampak diwajahnya,.
"Wallahu a'lam!"jawabku sekenanya.
Dan dengan mata berkaca-kaca.
Raihana diam, menunduk tak lama kemudian ia menangis terisak-isak sambil
memeluk kedua kakiku.
"kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah itu?
kalau dalam tingkahku melayani mas nikah ada yang tidak berkenan kenapa mas
tidak bilang dan menegurnya. Kenapa mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan mas? Aku sangat mencintaimu mas. Aku siap mengorbankan
nyawa untuk kebahagian mas? Jelas buat rumah ini penuh bunga-bunga indah yang
bermerahan? Apa yang harus aku lakukan agar mas tersenyum? katakanlah mas!
Katakanlah! Asal jangan satu hal. Kuminta asal jangan satu hal: yaitu
menceraikan aku! Itu adalah neraka bagiku. Lebih baik aku mati daripada mas
menceraikanku. Dalam hidup ini aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Mas
kumohon bukalah hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan
ibadahku didunia ini."
Raihan mengiba penuh pasrah.
Namun, oh sungguh celaka! Aku tak merasakan apa-apa. Aku tak bisa iba sama
sekali padanya. Kata-katanya terasa bagaikan ocehan penjual jamu yang tidak
kusuka. Aku heran pada diriku sendiri, aku ini manusia ataukah patung batu?
Kalau pun aku menitikkan air mata itu bukan karena Raihana tapi karena menangis
ke-patung- batu- an diriku.
Hari terus berjalan dan
komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing yang tidak
saling kenal. Raihana tidak menganggapku asing dia masih setia menyiapkan
segala untukku. Tapi aku merasa dia seperti orang asing. Aku benar-benar
meminta kepada tuhan agar otak,perasaan, dihati dan jiwa diganti saja dengan
yang bisa mencintai Raihana.
Suatu sore aku pulang dari
mengajar dan kehujanan dijalan. Aku lupa tidak membawa jas hujan. Sampai
dirumah habis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat. Perutku belum kumasukkan
apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, memang aku berangkat
terlalu pagi karena ada janji dengan seorang teman. Jadi aku berangkat sebelum
sarapan yang dibuat Raihana jadi. Raihana memandang diriku dengan waajah
kuatir.
"mas tidak apa-apa
kan?" tanyanya cemas sambil melepaskan jaketku yang basah kuyup."mas
mandi pakai air hangat saja ya. Aku sedang menggodog air. Lima menit lagi
mendidih." Lanjutnya.
Aku melepaskan semua pakaian
yang basah dan memakai sarung. Diluar hujan sedang lebat-lebatnya. Aku merasa
perutku mulas sekali. Dan kepala agak pening. Aku yakin masuk angin.
"mas air hangatnya sudah
siap?" kata Raihana.
Aku tak bicara sepatah kata pun.
Aku langsung masuk kekamar mandi dan membersihkan badan dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Aku lupa tidak membawa handuk. Selesai mandi, raihana telah
berdiri didepan pintu kamar mandi dan memberikan handuk. Dikamar ia juga telah
menyiapkan pakaianku.
"Mas aku buatkan wedang
jahe panas. Biar segar."
Aku diam saja.
"Tadi pagi mas belum
sarapan. Apa mas sudah makan tadi siang?"
Aku merasa rasa mulas dan mual
dalam perutku tidak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari kekamar mandi. Dan
aku muntah disana. Raihana mengejar dan memijitnya pundak dan tengkukku seperti
yang dilakukan ibu.
"Mas masuk angin. Biasanya
kalau masuk angin diobati pakai apa mas, pakai balsam, minyak kayu putih atau
pakiai jamu?"tanya Raihana sambil menuntunku kekamar.
"Mas jangan diam saja dong.
Aku kan tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mas."
"Baisanya dikerokin."
Lirihku
"Kalau begitu kaos mas
dilepas ya. Biar hana kerokin." Sahut Raihana sambil tangannya melepaskan
kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihan dengan sabar
mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerokin,
Raihana membawa satu mengkok bubur kacang hijau panas.
"Biasanya dalam keadaan
meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan hana buat bubur kacang hijau.
Makanlah mas untuk mengisi perut biar segara pulih."
Aku menyantap bubur kacang hijau
itu dengan lahap. Lalu merebahkan diri ditempat ditidur, menelusup dibawah
hangatnya selimut. Kenyamanan mulai menjalar keseluruh tubuhku. Raihana duduk
dikursi tak jauh dariku. Ia khusuk mengulang hafalan alqurannya. Di luar hujan
deras. Suara guntur menggelegar dan petir menyambar- nyambar. Aku memperhatikan
wajah Raihana . aku jadi kembali sedih. Wajah yang cukup manis tapi tidak
semanis dan seindah gadis-gadis lembah sungai Nil. Tak lama kemudian aku
tertidur dengan sendirinya. Dalam tidur aku bertemu Ratu Cleopatra pada suatu
pagi yang cerah di pantai Cleopatra, Alexandria. Ia mengundangku makan malam
diistananya." Aku punya keponakan cantik namanya mona zaki. Maukah kau
berkenalan dengan?" kata Ratu Cleopatra yang membuat hatiku berbunga-bunga
luar biasa.
"Mona zaki, aktris belia
yang sedang naik daun itu?"tanyaku.
"Ya. Datanglah nanti malam
pukul delapan tepat. Terlambat satu menit saja kau akan kehilangan kesempatan
untuk menyuntingnya?"
"Menyuntingnya?"
"Ya. Dia meminta padaku
untuk mencarikan pengeran yang cocok untukya. Aku melihatmu cocok. Tapi aku
ingin tahu komitmen dan tangggung jawabmu. Jika aku datang terlambat maka kau
bukan orang yang bisa bertanggung jawab. Apa kau tidak mau menyuntingnya?"
"Mau, tapi.."
"Tapi kenapa?"
"Dia tidak pakai
jilbab."
"Asal kau mau semua bisa
diatur."
"Baiklah saya akan
datang."
"Ingat jam delapan
tepat!"
"Jangan kuatir."
Aku mempersiapkan segalanya. Aku
membeli stelan jas terbaik. Dan aku pergi ke salon. Pukul tujuh malam aku sudah
berada didalam mobil Limousin. Meluncur di atas jalan El Gaish menuju istana
Cleopatra dikawasan El Manshiya. Aku melewati jembatan Stenley. Keindahan malam
kota Alexandria menambah suasana bahagia dalam hati. Limousin terus meluncur.
Mercusuar pelabuhan Alexandria kelihatan. Benteng El Silsila juga tampak tak
jauh di depan. Tak lama lagi akan sampai di istana Ratu Cleopatra. Wajah Mona
Zaki terbayang di mata. Dia memang cantik tak kalah dengan Ratu Cleopatra.
Tepat pukul tujuh lima puluh menit aku sampai digerbang istana Cleopatra yang
megah. Pintu gerbang dibuka. Limousine masuk istana yang indah itu. aku turun
dari mobil. Seorang pengawal yang gagah membawaku menuju bangsal utama. Hatiku
bergetar luar biasa. Aku akan bertemu Mona Zaki dan menyuntingnya.
"Dari sana Ratu Cleopatra
sudah menunggu bersama Mona Zaki dan kedua orangtuanya. Ratu juga telah
mengundang ma'dzun syar'i. beliau juga telah menyiapkan
pesta yang mewah setelah akad nikah. Anda sangat beruntung orang Indonesia.
Anda beruntung dipilih oleh Ratu Cleopatra untuk menjadi pendamping
keponakannya. Dan anda telah beruntung datang tepat pada waktunya. Selamat ya!"
kata pengawal itu sambil menuju bangsal utama. Dari kejauhan aku melihat Ratu
Cleopatra duduk disinggasananya. Disamping kananya ada seorang indah. Itukah
Mona Zaki? Hatiku bergetar hebat. Jika aku berada di Jawa, sangat tidak
mungkin berkenalan dengan puteri keraton Solo atau Yogyakarta apalagi
menyunting mereka, ini aku, tinggal menunggu hitungan menit saja akan
menyunting puteri tercantik di Mesir. Keponakan Ratu Cleopatra. Jika nanti aku
bawa pulang ke Indonesia. Maka dengan tiba-tiba aku akan menjadi orang paling
sering nongol di televisi dan Koran-koran. Siapa yang tidak kenal kecantikan
Cleopatra? Dan Mona Zaki dalam gaun pengantinya lebih cantik dari Ratu
Cleopatra, bibirnya. Sampai dibangsal aku mengucapkan salam. Mona Zaki
tersenyum padaku. Ada satu kursi masih kosong, tepat di samping kanan Mona
Zaki!" sang ratu mempersilahkan aku menduduki kursi yang berhias berlian
itu. aku melangkah maju. Aku akan duduk disamping Mona Zaki. Hidup ini begitu
indahnya. Belum sempat duduk. Tiba-tiba.......................
"Mas, bangun mas. Sudah jam
setengah empat kau belum shalat isya!"
Raihana menguncangkan tubuhku.
Aku terbangun dengan perasaan kecewa luar biasa. Tidak jadi menyunting Mona
Zaki, keponakan Cleopatra, aku menatap raihana dengan perasaan jengkel dan
tidak suka.
"Maafkan hana, kalau
membuat mas kurang suka. Tapi mas belum shalat isya." Lirih hana yang
belum melepas mukenanya, dia mungkin baru saja shalat malam. Aku tidak berkata
apa-apa. Meskipun Cuma mimpi itu sangat indah seperti dalam alam nyata. Kenapa
raihana tidak menunggu sampai aku menikah dengan keponakan Ratu Cleopatra itu.
kenapa tidak menunggu sampai aku merasakan indahnya malam pertama bersamanya.
Meskipun Cuma dalam mimpi. Aku bangkit mangambil air wudhu dan shalat. Selesai
shalat aku merenungkan mimpi yang baru kualami. Sangat indah. Tapi sayang
terputus. Cleopatra dan Mona Zaki, aneh. Bagaimana mungkin Mona Zaki itu
keponakan Cleopatra. Bukankah Cleopatra hidup dizaman Romawi dan Mona Zaki
diabad ke-21. bagaimana bisa bertemu dalam ikatan darah bibi dan keponakan.
Mimpi memang sering aneh. Tak bisa dinalar. Tapi indah. Hanya saja sayang.
Diputus oleh Raihana. Aku jadi semakin tidak suka dengan dia. Dialah pemutus
harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah? Bukankah dia justru
berbuat baik membangunkan aku untuk shalat? Jika sudah berkaitan dengan cinta
dan mimpi, yang salah atau benar seringkali tidak jelas batasanya. Hanya yang
diselamatkan oleh Allah yang masih berpijak pada kesadaran naluri dan berpijak
pada jalan yang benar. Dan aku?
Bersambung ke bagian 3
No comments:
Post a Comment