Seri Novel Ayat-Ayat Cinta bagian 3
Aku sampai di flat jam lima lebih seperempat.
Siang yang melelahkan. Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar
panas. Yang berangkat talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan
Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun cuma
tiga yang hadir, waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga membaca tiga kali
lipat dari biasanya. Jatah membaca Al-Qur’an sepuluh orang kami bagi bertiga.
Untungnya masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti
apa menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak
bisa membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir masjid yang baik hati itu membawakan
empat gelas tamarhindi [Air buah asam] dingin. Bukan main segarnya ketika minuman
segar itu menyentuh lidah dan tenggorokan. Selesai minum aku pulang. Mahmoud,
Hisyam, Amu Farhat dan Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu ashar.
Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari
berangkat. Antara pukul setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas
siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris
membuatku lupa akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana.
Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket.
Malang! Rental itu tutup. Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup
besar. Di sana kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria. Dan
dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid yang berada tepat di
sebelah barat mahattah Helwan untuk shalat ashar.
Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar
masjid untuk pulang. Di tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang
lengang. Hanya seorang polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya.
Tampangnya mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang
kering. Atau seperti dendeng di Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering.
Panas sahara seperti menghisap habis darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer
yang biasa disebut duf’ah. Polisi paling menderita karena bertugas dengan sangat
terpaksa. Tanpa gaji memadai. Hanya beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa jadi ia masih
berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir terkena wajib
militer. Seorang kumsari [Kondektur] mendekat. Ia gemuk, kepalanya bulat penuh
keringat. Perutnya buncit seperti balon mau meletus. Beda sekali dengan polisi
penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini memang penuh perbedaan-perbedaan dan
hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah dimengerti. Metro terus melaju.
Sampai
di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu masuk kamar.
Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas, topi, kaca mata
hitam, dan kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan tissu. Hitam. Banyak debu
menempel. Aku lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es, mencari yang
dingin-dingin untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu lemari es mataku
membelalak berbinar. Ada sebotol ashir ashab [Sari air tebu. (Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas)] Dingin. Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil
membawa gelas berisia ashir ashab aku berteriak,
"Siapa nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga umurnya diberkahi Allah.”
Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.
"Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
"Terus dapat dari mana?”
"Tadi diberi oleh Maria.”
"Apa? Diberi oleh Maria?”
"Iya.
Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak menyentuhnya
sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi ‘kan Mas?”
"Ah kamu ini ada-ada
saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku disisain. Pakai menunggu izin
segala.”
"Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya
puteri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati
sama Mas.”
"Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu
memang tetangga yang baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik
sama kita. Bukan sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.”
"Tapi kenapa Maria
bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”
“Lha
ketahuan ‘kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya udah nanti
biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau memberi sesuatu
biar yang disebut namamu hehehe.”
“Jangan Mas. Bukan itu maksudku?”
“Terns?”
"Tapi Maria sepertinya punya perhatian lebih pada
Mas.”
“Akh Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan
tahu. Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang
baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap
kali memberi makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu lewat aku, as a leader here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya
dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua
person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua
penganut keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia
yang beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu
jauh. Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di
antaranya adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya
nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi
ahasana minha![Dan jika kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan
itu dengan yang lebih baik daripadanya (QS. An-Nisaa’: 86)]
“Saya mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang berkenan.”
“Udah jangan dipikir. Emm..bagaimana makalahmu? Sudah
selesai?”
“Alhamdulillah, Mas.”
“Kapan dipresentasikan?”
“Sabtu sore.”
“Di mana?”
“Di Wisma Nusantara.”
“Ma’at taufiq.”[Semoga sukses]
Aku melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab.
Kuselonjorkan
kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat tidur. Untung
tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara panas di luar
apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat tapi tidak sepanas
di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat udara yang hangat itu
menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan. Dingin mengaliri tenggorokan. Oh luar biasa
nikmatnya. Di kawasan beriklim panas, seperti Mesir dan negara Timur Tengah
lainnya, air dingin memang sangat menyenangkan. Jika air dingin itu membasahi
tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air sejuk dari surga, tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di tengah sahara yang paling
ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar dahaga. Tak ada yang lebih ia
cinta dari itu. Di sinilah baru bisa kurasakan betapa dahsyat doa baginda Nabi,
Ya Allah
jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga dan air yang
dingin’.
Beliau meminta agar cintanya kepada Allah
melebihi cintanya pada air yang dingin, yang sangat dicintai, disukai, dan
diingini oleh siapa saja yang kehausan di musim panas. Di daerah yang beriklim
panas, cinta pada air yang sejuk dingin dirasakan oleh siapa saja, oleh semua
manusia. Jika cinta kepada Allah telah melebihi cintanya seseorang yang sekarat
kehausan di tengah sahara pada air dingin, maka itu adalah cinta yang luar
biasa. Sama saja dengan melebihi cinta pada nyawa sendiri. Dan memang
semestinya demikianlah cinta sejati kepada Allah Azza Wa Jalla. Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi
sejatinya telah mengajarkan idiom cinta yang begitu indah.
Setelah
keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit hendak mengambil
handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman. Harus dibersihkan dan
disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku memerik singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Maria,
"Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”
Langsung kujawab,
"Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”
Kuletakkan handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi. Baru menutup
kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si handphone memekik lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar,
nanti saja setelah mandi. Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan. Air
mengalir. Kusentuh. Hangat sekali.
Berarti pipa-pipa yang berada di dalam tanah berpasir yang
mengalirkan air dari tandon raksasa itu telah panas. Aku jadi teringat saat
umrah ke Saudi di puncak musim panas tahun lalu. Baik siang atau pun malam,
kalau hendak mandi harus mendinginkan air dulu di ember besar. Sebab air yang
keluar dari kran sangat panas. Harus ditampung di ember besar dan ditunggu
sampai dingin. Kulihat bath-tub penuh dengan air. Alhamdulillah, teman-teman sangat pengertian dan cerdas. Aku
bisa langsung mandi tanpa menunggu air dingin. Ketika air menyiram seluruh
tubuh rasa segar itu susah diungkapkan dengan bahasa verbal. Habis mandi tenaga
rasanya pulih kembali.
Usai
berganti pakaian kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah nikmatnya. Ini
saatnya istirahat. Kunyalakan tape kecil di samping tempat tidur. Enaknya
adalah memutar murattal [Kaset yang merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil] Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya yang
sangat lembut dan indah penuh penghayatan dalam membaca Al-Qur’an sering
membawa terbang imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di
tengah hutan yang penuh buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang indah di tepi
pantai Ageeba, pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh.
Bahkan bisa membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan
hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga. Dalam keadaan lelah
selalu saja suara Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik pengantar tidur
yang paling nikmat. Meski terkadang aku harus terlebih dahulu meneteskan air
mata, kala mendengar Syaikh Syathiri sesengukan menangis dalam bacaannya.
Kunyalakan murattal Syaikh Syatiri. Suaranya yang indah langsung mengelus-elus
syaraf-syarafku. Mataku mulai liyer-liyer hendak terpejam. Tiba-tiba handphone-ku kembali memekik. Aku teringat sesuatu. Titipan
Maria. Kubaca pesan Maria.
Ada tiga pesan:
"Buka jendela
sekarang. Aku akan turunkan keranjang.” "Kau sedang apa? Aku sudah
turunkan keranjang. Lama sekali.” "Kenapa tidak ada respons?”
Aduh,
kasihan Maria. Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan menurunkan keranjang.
Langsung kujawab,
"Afwan. Tadi
saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir baru
kubuka
setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”
Kutunggu respons darinya. Tak lama pesannya masuk,
"O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil dua
disket dalam tas. Lalu menuju jendela. Kubuka jendela. Hawa panas langsung
masuk. Sebuah keranjang kecil dijulurkan dengan tambang kecil putih dari atas.
Ada uang sepuluh pound di dalamnya. Kuletakkan dua disket itu dalam keranjang
tanpa menyentuh uang sepuluh pound itu sama sekali.
Kamar Maria memang tepat di atas kamarku, dan
jendela kamarnya tepat di atas jendela kamarku. Orang Mesir yang berada di atas
lantai dua biasanya memiliki keranjang kecil yang seringkali digunakan untuk
suatu keperluan tanpa harus turun ke bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja
buah-buahan atau sayur-sayuran pada penjual buah atau penjual sayur keliling,
biasanya mereka menggunakan keranjang kecil itu, tanpa harus turun dari rumah
mereka yang berada di atas. Mereka cukup pesan berapa kilo, setelah sepakat
harganya mereka menurunkan keranjang kecil yang di dalamnya sudah ada uang
untuk membayar barang yang dipesannya. Tukang buah atau tukang sayur akan
mengisi keranjang itu dengan barang yang dipesan setelah mengambil uangnya.
Jika uangnya lebih, mereka akan mengembalikannya sekaligus bersama barang yang
dipesan. Barulah si ibu mengangkat keranjangnya seperti orang menimba.
Transaksi yang praktis. Pertama kali melihat aku heran. Yang aku herankan
adalah begitu amanah-nya penjual buah itu. Mereka tidak curang. Tidak berusaha
nakal. Maria atau ibunya juga biasa membeli sayur atau buah dengan cara seperti
itu.
Maria
mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama kemudian handphone-ku kembali bertulalit. Maria lagi,
"Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”
Kujawab,
"Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu
dibayar.”
Ia
menjawab,
"Jangan
begitu. Itu tidak wajar.”
Kujawab,
“Harganya
seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.
Kalau kau
buat Ruzz bil laban titip ya. Bolehkan?”
la menjawab,
“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukranl”
Kujawab,
“Afwan.”
[Ruzz bil laban: Bubur dari beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan dalam kulkas]
Klik.
Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama,
kudengar suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam. Kujawab
lirih. Alhamdulillah dia pulang. Dia nanti akan masak oseng-oseng
wortel campur kofta. Aku senang bahwa teman-teman satu rumah ini mengerti dengan
kewajiban masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk apa pun adalah hal yang
tidak boleh ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi sangat penting untuk sebuah
tanggung jawab. Masak tepat pada waktunya adalah bukti paling mudah sebuah rasa
cinta sesama saudara. Ya inilah persaudaraan. Hidup di negeri orang harus
saling membantu dan melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup
dengan baik.
Sambil rebahan kunikmati suara Syaikh Syathiri
membaca Al-Qur’an mengalun indah. Maghrib masih lama. Dalam musim panas, siang
lebih panjang dari malam. Aku harus beristirahat. Nanti malam harus kembali
memeras otak. Menerjemah untuk biaya menyambung hidup. Ya, hidup ini—kata
Syauqi, sang raja penyair Arab—adalah keyakinan dan perjuangan. Dan perjuangan
seorang mukmin sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali
ketika kedua kakinya telah menginjak pintu surga.
* * *
Seperti
biasa, usai shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di ruang tengah
untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang satu, yaitu Si
Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang menjadi sentral
kegiatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa
itu terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia
banyak bercerita tentang anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan
manja-manja. Dibandingkan yang ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang
termasuk yang beruntung. Komunitas yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar.
Kegiatan keislaman dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar. Tiap
Ramadhan ada tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat untuk putera-puteri
mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar. Masalah yang
dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh KBRI di Saudi Arabia
misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI atau TKW dengan setumpuk
masalahnya yang sangat memuakkan. Misalnya, tidak dibayar majikan, disiksa
majikan, diperkosa majikan, diperlakukan seperti budak oleh majikan, dihamili
oleh sesama tenaga kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya
izin tinggal resmi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat
KBRI bahkan telah memiliki perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi
putera-puteri mereka. Manajemen masjidnya lumayan baik. Teks khutbah Jum’atnya
dibukukan tiap tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi
para mahasiswa yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang mayoritasnya
tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki. Silaturrahmi ke
rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang terletak di
Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat tepat. Selain shalat
Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama orang Indonesia, usai shalat
Jum’at biasanya ada makan bersama di belakang masjid. Makanan disediakan oleh
para pejabat KBRI muslim secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan
niscaya sangat indah untuk dikisahkan dan dikenang.
Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan
komputer. Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Kali ini yang aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris Sa’adah. Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab
ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan
hati-hati pada saat Ibnu Qayyim membahas masalah ilmu perbintangan, horoskop,
pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan lain sebagainya. Bahasa ilmu falak
dan astronomi adalah bahasa yang tidak mudah. Aku terpaksa membuka kamus klasik
berkali-kali. Apalagi bahasa yang dipakai Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab
klasik. Itu saja tidak cukup, harus juga didampingi dengan kamus dan buku
astronomi modern. Dan tatkala yang ditulis Ibnu Qayyim telah terang maksudnya,
aku bagaikan menemukan mutiara tidak ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata
juga seorang astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang
terasa sangat menjemukan. Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu
akan berubah menjadi sebuah
rekreasi yang sangat mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd
masih hidup, aku ingin bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang
menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika telah
selesai semuanya?
Malam ini jadwalku sampai jam dua belas.
Berhenti ketika shalat Isya. Akhir bulan naskah harus sudah aku kirim ke
Jakarta. Setelah itu ada dua buku yang siap diterjemah. Buku kontemporer,
bahasanya lebih mudah. Seorang teman pernah mencibir diriku, bahwa menjadi
penerjemah sama saja menjadi mesin pengalih bahasa. Aku tak peduli dengan
segala cibiran mereka. Aku merasa nikmat dengan apa yang aku kerjakan. Aku bisa
belajar menambah ilmu, mentransfer ilmu pengetahuan dan berarti ikut serta
mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya, sekecil apa pun bentuknya. Berdakwah,
dengan kemampuan seadanya. Dan yang terpenting aku bisa hidup mandiri dengan
royalti yang aku terima. Tidak seperti mereka yang bisanya mencibir saja.
Menuruti kata orang tidak akan pernah ada habisnya. Kamu tidak akan mungkin bisa memenuhi
segala kesesuaian dengan hati semua manusia! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan diriku.
* * *
Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia
memberikan kabar gembira,
"Mabruk. Kamu
lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya keluar.”
Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari
langit. Menetes deras ke dalam ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh
tubuh. Seketika itu aku sujud syukur dengan berlinang air mata. Aku merasa
seperti dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah puas sujud syukurku aku
mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu rumah. Mereka semua
menyambut dengan riang gembira. Dengan tasbih, tahmid dan istighfar. Dengan
mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka,
"Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi [Ayam bakar] dua. Lengkap dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di
sutuh sana. Bagaimana. Eh ra’yukum [Apa pendapat kalian]?”
"Kalau ini sih usul yang susah ditolak!”
sahut Saiful senang. Siapa yang tidak senang diajak makan ayam bakar gratis.
Kukeluarkan uang lima puluh
pound.
“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri
sama Hamdi di rumah saja. Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang.
Okay?” Rudi menawarkan diri.
“Okay. Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru Saiful.
Keduanya membuka pintu dan keluar.
“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata
Hamdi.
“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil
mengacungkan kedua jempolku. Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang
mantap. Ayam bakar Mesir tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang
yang doyan sambal, terutama Hamdi. Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai
sambal.
Saat
melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami berempat
berpesta tampa mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika senang harus
dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon Wisma. Aku minta
disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan padanya orang satu rumah akan syukuran
atas kelulusanku. Ia berteriak gembira,
“Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas
Khalid.”
“Kalau begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu.
Kalau kau pulang ke Hadayek Helwan kau akan terlalu capek. Begini saja Akhi, kau ajak saja Mas Khalid istirahat ke Babay atau ke mana
terserah. Ajak makan firoh masywi. Pakai uangmu atau uangnya Mas Khalid dulu.
Nanti aku ganti. Jadi adil, bagaimana?”
“Kalau
begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya terdengar girang. Aku tersenyum. Ah, musim
panas yang menyenangkan, meskipun melelahkan.
Dalam segala musim, Tuhan
selalu Penyayang.
Itu yang aku rasakan.
* * *
Tepat tengah malam kami pergi ke suthuh [Lantai apartemen paling atas dan menghadap langit (atap apartemen)].Membawa tikar, nampan besar, empat gelas
plastik, ashir mangga, tamar hindi, dan dua bungkus firoh masywi yang masih hangat dan sedap baunya.
Kami
benar-benar berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan. Sambal
ditumpahkan. Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya. Tak lupa acar dan
lalapan timun. Satu ayam untuk dua orang.
“Sekali-kali kita jadi orang
Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,” komentar Rudi.
“Kalau ini bukan makan nasi lauk ayam. Ini makan
ayam lauk nasi. Nasinya dikit sekali. Mbok ditambah dikit,” sambung Saiful.
“Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi
pelengkap saja untuk melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi
ambil saja sendiri. Benar nggak Mas?” sahut Hamdi.
“Sekarang bukan saatnya diskusi. Kalau mau
diskusi besok Sabtu di Wisma Nusantara. Rudi presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong langsung kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging
ayam di hadapanku. Serta merta mereka melakukan hal yang sama. Kami makan
sambil ngobrol, di belai udara malam yang tidak dingin dan tidak panas. Semilir
sejuk. Keindahan musim panas memang pada waktu malam. Kala langit cerah. Bulan
terang. Bintang-bintang gemerlapan. Dan debu tidak berhamburan. Menikmati
suasana alam di atas suthuh apartemen sangat menyenangkan. Nun jauh di sana cahaya
lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip
diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di
kejauhan sana. Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji
syair sufi. Sangat khas senandung malam di delta Nil.
Suasana nyaman ini akan jadi kenangan tiada
terlupakan. Dan kelak ketika kami sudah kembali ke Tanah Air, kami pasti akan
merindukan suasana indah malam musim panas di Mesir seperti ini.
Usai makan kami tidak langsung turun. Kami tetap
bercengkerama ditemani semilir angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami bercerita tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi Marpaung yang
berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap bersama teman-temannya
ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan mengadakan shalat tahajjud bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi semakin asyik
ketika Hamdi mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di
lereng Gunung Lawu selama dua hari.
"Kami berempat belas. Dibagi dalam dua
kelompok. Kami mencoba jalur baru. Kelompok kami istirahat terlalu lama. Kami
mengejar kelompok pertama. Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan
terlunta selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah
yang membuat kami tetap hidup.”
Sedangkan Saiful yang waktu SMP pernah diajak
ayahnya ke Turki bercerita tentang indahnya malam di teluk Borporus. Ia
bercerita detil teluk Borporus. Lalu mengajak kami membayangkan bagaimana
Sultan Muhammad Al-Fatih merebut Konstantinopel dengan memindahkan puluhan
kapal di malam hari lewat daratan dan menjadikan kapal itu jembatan untuk
menembus benteng pertahanan Konstantinopel.
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami
mendengar suara orang ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah
berbaur dengan suara jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari
bawah. Kami ke tepi suthuh dan melihat ke bawah.
Benar,
di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang lelaki
hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu
menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan.
"Jika kau tidak mau
mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau injak rumah kami. Kami bukan
keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya.
Kami kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang
nian nasibnya. Namanya Noura. Nama yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama
ini tak seindah nama dan paras wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik
ke tingkat akhir Mahad Al Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas. Tahun
depan jika lulus dia baru akan kuliah. Sudah berulang kali kami melihat Noura
dizhalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekasaran ayahnya dan
dua kakaknya. Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang
kami lihat. Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura
disiksa dan diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya.
Untung tidak musim dingin. Tidak bisa dibayangkan jika ini terjadi pada puncak
musim dingin.
Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri.
Ia duduk sambil mendekap tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini
dirasakan ibunya di dalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis
tersedu dengan nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang
lelap tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan
dengan kejadian yang kerap berulang itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur itu
memang keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak bisa menghargai orang. Seluruh
tetangga di apartemen ini dan masyarakat sekitar jarang yang mau berurusan
dengan Si Hitam Bahadur. Kulitnya memang hitam meskipun tidak sehitam orang
Sudan. Hanya kami yang mungkin masih sesekali menyapa jika berjumpa. Itu pun
kami terkadang merasa jengkel juga, sebab ketika disapa ekspresi Bahadur tetap
dingin seperti algojo kulit hitam yang berwajah batu. Sejak kami tinggal di
apartemen ini belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum pada kami. Kalau
suara tawanya yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.
Aku
paling tidak tahan mendengar perempuan menangis. Kuajak temanteman turun
kembali ke flat. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan untuk menolong Noura.
Aku diam belum menemukan jawaban. Aku masuk kamar, kubuka jendela, angin malam
semilir masuk. Noura masih terisak-isak di bawah tiang lampu. Aku dan
teman-teman tidak mungkin turun ke bawah menolong Noura. Meskipun dengan
sepatah kata untuk menghibur hatinya. Atau untuk memberitahukan padanya bahwa
sebenarnya ada yang peduli padanya. Tidak mungkin. Jika ada yang salah persepsi
urusannya bisa penjara. Apalagi Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa
pertimbangan akal sehatnya.
Aku teringat Maria. Ia gadis
yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura menggerakkan tanganku untuk mencoba
mengirim sms pada Maria.
"Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara
tangis di bawah sana?”
Kutunggu. Lima menit. Tak ada
jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi. Ada jawaban.
"Ya aku
bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela Noura memeluk tiang lampu.”
"Apa kau tidak kasihan padanya?” "Sangat kasihan.” "Apa kau
tidak tergerak untuk menolongnya.” "Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”
"Kenapa?” "Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau
berurusan dengannya.” "Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya.
Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan hatinya.” "Itu tidak
mungkin.” "Kau lebih memungkinkan daripada kami.” "Sangat susah
kulakukan!” Maria menolak. "Kumohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku
paling tidak tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon.
Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan
membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya.”
"Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!” "Kumohon,
demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!” "Baiklah, demi cintaku pada
Al-Masih akan kucoba. Tapi kau harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa
kau harus berbuat sesuatu.” "Jangan kuatir. Tuhan menyertai orang yang
berbuat kebajikan.”
Benar dugaanku. Sebenarnya banyak tetangga yang
terbangun oleh teriakan-teriakan Bahadur dan jeritan Noura. Tapi mereka tidak
tahu harus berbuat apa. Pernah seorang tetangga memanggil polisi, tapi Noura
tidak mau ayahnya diperkarakan, Noura malah mengaku dia yang salah dan ayahnya
berhak marah. Mau bagaimana? Noura sepertinya tidak mau dibela padahal apa yang
dilakukan ayahnya padanya telah melewati batas. Tuan Boutros, ayah Maria pernah
menegur Si Hitam Bahadur atas perlakuannya yang tidak baik pada anak bungsunya.
Tapi apa yang terjadi? Bahadur malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak
didengar telinga.
Dari
jendela aku melihat Maria berjalan mendekati Noura. Ia memakai jubah biru tua.
Rambutnya yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria lalu duduk di samping
Noura. Ia kelihatannya berbicara pada Noura sambil mengeluselus kepalanya.
Noura masih memeluk tiang lampu. Maria terus berusaha. Akhirnya kulihat Noura
memeluk Maria dengan tersedu-sedu. Maria memperlakukan Noura seolah adiknya
sendiri. Sambil memeluk Noura Maria menengok ke arahku. Aku menganggukkan
kepala. Kulihat jam dinding, pukul dua empat puluh lima menit. Teman-teman
sudah terlelap. Mereka kekenyangan makan. Maria masih memeluk Noura. Cukup lama
mereka berpelukan. Maria melepaskan pelukannya. Tangan kanannya memenjet handphone-nya dan meletakkan di telingannya.
Handphoneku menjerit. Maria bertanya,
"Sekarang apa yang hams kulakukan?”
‘Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
"Aku kuatir Bahadur tahu.”
"Aku
yakin dia sudah terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam sepuluh pagi.
Dia pekerja malam. Tadi jam setengah dua baru pulang terus membuat keributan.”
"Baiklah akan kucoba.”
"Tunggu!
Sekalian kau bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya dialaminya selama
ini, agar kita semua para tetangga yang peduli pada nasibnya bisa menolongnya
dengan bijaksana.”
"Akan kucoba.”
Sebenarnya Maria bisa bicara langsung tanpa
melalui handphone. Tapi dia harus bersuara sedikit keras, dan itu akan
mengganggu tetangga yang tidur. Maria memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua
kakak perempuan Noura yang genit dan keras bicaranya. Seringkali Mona atau
Suzana memanggil orang di rumah mereka dari bawah dengan suara keras. Tidak
siang tidak malam. Padahal rumah mereka hanya di lantai dua tapi suaranya
seperti memanggil orang di lantai tujuh.
Kulihat Maria berhasil membujuk Noura untuk ikut
dengannya dan berjalan memasuki gerbang apartemen. Hatiku sedikit lega. Masih
ada waktu satu jam setengah sampai subuh tiba. Kupasang beker. Aku ingin
melelapkan mata sebentar saja.
Sebelumnya: Peristiwa di dalam Metro
Bersambung ke: Air Mata Noura
No comments:
Post a Comment