Sunday 3 May 2015

Ketika Cinta Berbuah Surga

Di tanah Kurdistan , ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki 

seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani.

Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia mengajari 

anaknya itu membaca Al-Quran. Sang raja juga menceritakan

kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di


medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira


mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel


jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang


memutuskannya.


 Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba


pengawal masuk dan memberitahukan ada tamu penting yang harus ditemui


oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya. 
  

Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, "Said, Anakku, sudah saatnya kamu mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga."

  

Said tersentak mendengar perkataan ayahnya. 

"Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?" tanyanya dengan nada penasaran. 

  

"Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tatapi karena 

kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaiumu karena Allah. Dan Dengan dasar itu kau 

pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuaan dahsyat 

yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga." 

  

"Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?" tanya Said. 

  

Sang raja menjawab, "Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan teman. Ada sebuah cara menarik 

untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kau anggap cocok menjadi temanmu untuk makan pagi di sini, di 

rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. 

Lihatlah kemudian apa yang mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga buitr telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga 

telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur jika kau 

bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu." 

  

Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktekkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh 

itu. Mula-mula ia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu per satu. Sebagian besar dari mereka marah- 

marah karena hidangnya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang 

memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji, memaki-maki karena terlalu lama menunggu 

hidangan. 

  

Diantara teman anak raja itu, ada seorang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat sepertinya Adil anak 

yang baik hati dan setia. Maka dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang menunggu 

keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus. 

  

Melihat itu, Adil berkata keras, "Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!" 

  

Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meniggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta 

maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa 

Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejati. 

  

Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja anak saudagar itu sangat senang 

mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja ia tidak makan dan melaparkan perutnya agar 

paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan makanan anak raja pasti enak dan lezat. 

  

Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia menunggu 

waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya. 

  

"Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum." Kata Said seraya meletakkkan piring itu di 

atas meja. 


Lalu, Said masuk kedalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung malahap satu persatu telur itu. Tidak 

lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke arah meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. 

Ia kaget. 

  

"Mana telurnya?" tanya Said pada anak saudagar. 

"Telah aku makan." 

"Semuanya?" 

"Ya, habis aku lapar sekali." 

  

Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak 

bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa. 

  

Said merasa jengkel kapada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. 

Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Akhirnya, Said meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman 

sejati. 

  

**** 

Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, 

ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik. 

  

Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. 

Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan 

pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda 

kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik 

rumpun pepohonan. 

  

Selesai salat, Said datang dan menyapa, "Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau 

tadi shalat apa?" 

  

"Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha." 

  

Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya. 

  

Namun, Abdullah menjawab, "Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak orang kaya, malah mungkin anak 

bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar." 

  

Said menyahut, "Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah 

hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak 

yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi 

temanmu." 

  

"Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman 

yang seia-sekata." 

  

Said menyepakati syarat yag diajukkan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke 

hutan bersama ,memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di 

sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang 

cerdas, rendah hati, lapang dada dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira. 

  

Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan 

di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan. 

  

Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya, sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat 

lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang 

mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya. 

  

Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak 

menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu dia diajari untuk 

mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa dimakan, 

yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun. 

  

"Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. 

Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!" kata anak pencari kayu. 

  

Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan ilmu ada di mana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga. 

  

Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said 

mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu. 

  

"Pergilah ke ibu kota , berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana . Dia akan mengantarkanmu ke 

rumahku," kata Said sambil tersenyum. 

  

"Insya Alloh aku akan datang." Jawab anak pencari kayu itu. 

  

***** 

Pagi harinya, anak pencari kayu sampai juga di istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. 

Mulanya, dia ragu untuk masuk istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia 

berani masuk juga. 

  

Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang 

makan itu. Said pun menguji temannya  ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu itu 

sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. 

Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram. 

  

Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang 

anak raja yang santun dan shalih. 

  

Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan. Anak pencari 

kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara Said mengupas dengan cepat dan 

menyantapnya. Lalu dengan sengaja Said mengambil yang ketiga, mengupasnya dengan cepat dan melahapnya. 

Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebitur telur itu, 

apakah akan dimakannya sendiri atau….? 

  

Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua. Yang satu dia pegang dan 

yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu. 

  

Lalu Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata. "Engkau teman sejatiku! Engkau 

teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga." 

  

Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan meraka melebihi saudara kandung. 

Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Alloh swt. 

  

Karena kekuatan cinta itu mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru 

kepada para ulama yang tersebar di Turki, di Syiria, di Irak, di Mesir dan di Yaman. 

  

Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil, ayah Said meninggal dunia. 

Akhirnya, Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, 

anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya. 

  

Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering malakukan shalat tahajud dan membaca Al-Quran 

bersama. Kecerdasaan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya.--- 

baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.--- 

  

Dikutip dari sebuah karya Habiburrahman El Shirazy 


No comments:

Post a Comment