SELANJUTNYA aku merasa sulit hidup bersama
Raihana. Aku sendiri tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka itu semakin
menjadi-jadi. Aku tak mampu lagi meredamnya. Aku dan Raihana hidup dalam dunia
masing- masing. Aktivitas kami hanya sesekali bertemu dimeja makan dan saat
sesekali shalat malam. Aku sudah memasuki bulan keenam menjadi suaminya. Dan
satu bulan lebih aku tidak tidur sekamar lagi dengannya. Aku lebih merasa
nyaman tidur bersama buku-buku dan computerku di ruang kerja.
Tangis raihana tak juga mampu
membuka jendela hatiku. Rayuan dan ratapanya yang mengharu-biru tak juga
meluruhkan perasaanku. Aku meratapi dukaku. Raihana menangisi dukanya. Dan duka
kami belum juga bertemu. Aku heran pada diriku sendiri. Orang-orang itu begitu
mudah jatuh cinta. Tapi kenapa aku tidak. Raihana yang kata tante lia memiliki
kecantikan selevel bintang iklan sabun Lux itu belum juga bisa menyentuh
hatiku. Kelembutannya yang seperti Dewi Sembodro tak juga membuatku jatuh
cinta. Kepada siapa aku harus melabuhkan duka. Seribu doa terpanjatkan agar
hatiku terbuka. Namun yang hadir tetap saja aura pesona gadis lembah sungai
Nil. Padahal banyak juga yang bilang, gadis Mesir banyak yang gembrot.
Tapi cinta adalah selera. Dan
selera orang berbeda- beda. Dan aku selalu menolak jika orang mengatakan gadis
Mesir banyak yang gembrot. Aku justru melihat jika ada delapan gadis Mesir maka
yang cantik ada enam belas. Karena banyangannya juga cantik. Aku mungkin
terlalu memuja keelokan gadis Mesir. Itulah selera. Selera adalah rasa suka
yang muncul begitu saja dalam jiwa dan terkadang susah dipahami. Seenak-enaknya
durian kalau ada orang tidak suka ya tetap tidak suka. Setidak sukanya orang,
kalau ada orang yang makan jengkol ya tetap suka. Secantik-cantiknya Lady Diana
kalau orang tidak suka ya tidak suka. Itu juga yang kualami. Aku belum bisa
menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Hanya entah kenapa bisa
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
Aku benar-benar terpenjara dalam
suasana konyol. Suasana yang sebenarya tidak boleh terjadi pada orang mengerti
seperti diriku. Tapi masalah cinta seringkali membuat orang mengerti jadi tidak
mengerti. Untuk menghibur diri suatu hari sepulang dari mengajar. Kulihat kaset
sinetron berseri Ibnu Hazm yang kubawa dari Mesir. Sebenarnya pulang ketanah
air kusempatkan membelinya di Attaba.
Dengan melihat sinetron itu
kehadiran kembali pesona kecantikan gadis-gadis titisan Cleopatra yang jelita
dalam film untuk menyeka kesedihankul. Keagungan Wafa Shadiq, aktris muda Mesir
saat memerankan Samar, wanita shalehan yang dicintai Imam Ibnu Hazm,sungguh
mempesona. Dalam jilbab sutera merah klasik model Andalusia abad kejayaan
islam, auranya begitu menyejukkan hati. Adegan pertemuan Samar dengan Ibnu Hazm
yang tidak disengaja disebuah taman diCordoba benar-benar romantis dan menyihir
segenap perasaan. Aku sebenarnya memang orang yang suka hal-hal romantis. Pada
saat Samar yang masih berstatus budak itu kembali jatuh ketangan Ibnu Hazm yang
pernah jadi tuannya aku tiada sanggup menahan tetes air mata keharuan.
Bagiamana tidak terharu , Ibnu Hazm putera seorang menteri itu telah jatuh hati
dejak kecil pada samara, gadis kecil budak ayahnya. Saat ayah Ibnu Hazm jatuh
miskin terpaksa samara dijual. Sang ayah tidak tahu yang ikatan cinta putranya
dengan budak belianya. Setelah keduanya dewasa. Ibnu Hazm jadi pemuda berilmu
yang ternama. Samara jadi budak seorang penguasa. Keduanya bertemu tak sengaja.
Gelora cinta yang membara tak bisa berbuat apa-apa. Namun kerena sebuah
karyanya yang agung Ibnu Hazm berhasil mendapatkan kembali samara. Penguasa itu
kagum pada karya Ibnu Hazm dan bersumpah akan memberi hadiah apa saja yang
diminta Ibnu Hazm. Dan Ibnu Hazm meminta samar. Dengan sebuah karya ulama agung
itu mendapatkan pujaan hatinya. Ah, andai aku jadi Ibnu Hazm yang hidup
bertenaga dengan cinta. Yang gelora cinta mampu mendorongnya melahirkan
karya-karya monumental. Menjadikan namanya terukir indah sepanjang sejarah.
Andai saja raihana mirip Wafa Shadiq atau Mona Zaki? Oh, sungguh berdosa aku
berpikir begitu. Ya rabbi la taukhizni !
Aku kembali larut dalam
perjalanan hidup Imam Ibnu Hazm bersama istrinyam samar. Mereka hidup penuh
cinta dan kasih sayang. Samar tidak bisa sedikitpun lalai memperhatikan
suaminya. Ibnu Hazm yang dulu adalah puteranya dari tuanya. Ibnu Hazm juga
sangat setiap pada isterinya yang bekas budak. Ia tidak pernah merasa malu atau
gengsi bertemu dengan para amir dan pembesar Andalusia. Dia tidak malu disindir
punya isteri bekas budak belian. Ibnu Hazm tetap bangga dengan cintanya. Ia
bahkan tidak goyang sedikitpun ketika seorang puteri cantik anak seorang
menteri Andalusia menyukainya, ia tak goyah sedikitpun. Seribu jalan ditemuh
puteri itu untuk meluluhkan hati Ibnu Hazm tapi Ibnu Hazm tidak goyah. Ibnu
Hazm tidak mau menikah lagi. Dia teguh hanya dengan seorang isteri. Padahal
Ibnu Hazm seorang pangeran dan ulama yang terkenal. Bukan suatu hal yang aneh
jika seorang pangeran memiliki isteri lebih dari satu. Tatkala Ibnu Hazm dipenjara
kerena pemikiran-pemikirannya. Samar sangat setia menjenguknya dan menati Ibnu
Hazm keluar dari penjara. Berbagai godaan yang datang tidak menggoyahkan
cintanya pada suaminya yang terhina dipenjara. Sebuah keteladanan cinta yang
luar biasa. Aku ingin mencintai isteriku seperti Ibnu Hazm mencintai isterinya.
Dan aku ingin dicintai isteriku seperti Ibnu Hazm dicintai isterinya.
"mas nanti sore ada acara
aqiqah-an dirumah yu imah semua keluarga akan datang, termasuk ibundamu, kita
diundang juga, yuk, kita datang bareng. Tidak enak kalau kita yang dielu-elukan
keluarga tidak datang" suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku
pada zaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi satu piring
onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe diatas meja. Tangannya yang halus
agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
"ma... maaf jika mengganggu, mas. Maafkan hana,"lirihnya, lalu
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.
"mbak!eh maaf, maksudku
D....Di....Dinda hana!" panggilku dengan suara parau tercekak dalam
tenggorokan.
"ya mas!"sahut hana
langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku.
Ia berusaha bersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda" matanya
sedikit berbinar.
"Te.... terima kasih.........
di..dinda, kita berangkat bareng kesana. Habis shalat
dzuhur, insya allah!" ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang
kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah,ada secercah senyum
bersinar dibibirnya.
Perempuan berjilbab yang satu
ini memang luar biasa, ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan
acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernak melihatnya memadang wajah
masam atau tidak suka padaku . kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak
sukanya sama sekali belum pernah. Bah. Lelaki macam apa aku ini! Kutukku pada
diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas dilap dinginku selama ini,
tapi setetes embuh cinta yang kuharapkan membashi hatiku tak juga turun.
Kecantikan aura titisan Cleopatra itu! oh, bagaimana aku mengusuirnya? Aku
merasa menjadi orang yang palih membenci diriku sendiri didunia.
QQQ
Acara pengajian dan aqiqah-an
putra ketiga Yu Fatimah, kakak sulung Raihana, membawa sejarah baru dalan
lembaran pernikahan kami. Benar dugaan raihana, kami dielu-elukan keluarga.
Disambut hangat, penuh cinta. Dan penuh bangga.
"selamat datang pengantin
baru! selamat datang pasangan paling ideal dalam keluarga!" sambut yu imah
disambut tepuk bahagia mertua dan ibundaku sendiri serta kerabat yang lain
wajah raihana cerah. Matanya binar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hati
aku menangis disebut pasangan paling ideal. Apanya yang ideal? Apa kerena aku
lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal alquran lantas
disbut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan isterinya. Saling
mekiliki rasa cinta yangsampai pada pengorbaana satu sama lain. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Raihana mungkin telah mendapatkan
rasa cintanya. Selama ini ia begitu setia dan mengobankan apa saja untuk
membuatku bisa tersenyum. Ia tidak pernah mengeluh apa-apa, tak pernah
mengungkapkan tidak suka, tapi diriku? Yang celaka adalah diriku, aku tidak
bisa mengimbangi apa yang dirasakan oleh Raihana. Aku belum juga bisa
mencintainya.
"Ah Yu Iman ini menggoda
terus, sudah satu tahun kok dibilang baru." Sahut Rihana.
"Ya masih baru tho nduk. Namanya, pengantin baru satu
tahun! Hi_.hi_.hi_." celetuk ibu nertua membanyol.
"Aku juga baru Iho. Pengantin baru sepuluh tahun!
He ..... he...... he_. " tukas Yu Imah disambut
gerr sanak kerabat.
Sambutan sanak saudara pada kami
benar-bebar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang sedemikian kuat
menjaga kewibawananku di mata keluarga. Pada ibuku dan pada semuanya ia tidak
pernah bercerita apa-apa kecuali menyanjung kebaikan sebagai suami, orang yang
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi isteriku. Aku jadi
pusing sendiri memikirikan sikapku. Lebih pusing lagi saat ibuku dan ibu
mertuaku menyindir tentang keturunan. " sudah satu tahun putra sulungku
berkeluarga, kok belum ada tanda- tanda aku mau menimang cucu. Doakan lah kami.
Bukankan begitu,mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku. Aku
tergagap, cepat-cepat keanggukkan kepalaku sekenanya.
QQQ
Setelah peristiwa itu, aku
mencoba bersikap lebih bersahabat pada Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra
padanya. Berpura-pura menjadi suami betulan. Ya, jujur dasar cinta dan
kedendakku sendiri aku melakukannya. Dasarnya adalah aku tak ingin mengecewakan
ibuku, itu saja. Biarlah aku kecewa, biarlah aku menderita, terbelenggu persaan
konyol, asal ibuku tersenyum bahagia. Aku berharap jadi anak yang baik, jadi
orang baik namun aku tidak rahu, apakah aku bisa jadi suami Raihana yang baik?
Allah Mahakuasa. Kepura-puraanku
memuliakan Raihana sebagai isteri ternyata membuahkan hasil. Raihana hamil. Ia
semakin manis. Sanak saudara semua bergembira. Ibuku bersuka cita. Ibu mertuaku
bahagia.
Namun hatiku...... oh, hatiku menangis meratapi cintaku yang tak jua kunjung tiba.
Hatiku hamba. Tersiksa. Merana. Tuhan kasihanilah hamba. Hadirkan cinta itu
segera. Aku takut bahwa aku nanti juga tidak bisa mencintai bayi yang
dilahirkan Raihana. Bayi yang tak lain adalah darah dagingku sendiri. Adakah
didunia ini petaka yang lebih besar dari orang tua yang tidak bisa mencintai
dan menyayangi anak kandungnya sendiri? Aku sangat takut itu terjadi padaku.
Sejak itu aku semakin sedih. Aku
semakin sedih sehingga kau lalai untuk memperhatikan Raihana dan kandunganya.
Aku hanyut mertapi nestapa diriku. Setiap saat nuraniku bertanya," Mana
tanggung jawabmu!" aku hanya diam dan mendesah sedih.
"Entahlah, betapa sulit menemukan cinta,"gumanku pada nuraniku
sendiri.
Dan akhirnya datanglah hari itu.
saat usia kehamilan memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk tinggal
bersama kedua orangtuanya dengan alasan kesana. Rumah mertuanya sangat jauh
dari kampus tempat aku mengajar.jadi ibu mertua tidak banyak curiga ketika aku
harus tetap hinggal dirumah kontrakan yang lebih dekat dengan kampus. Ketika
aku pamitan Raihana berpesan, "Mas, untuk menambah biaya persiapan
kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku! ATM-nya ada di bawah
kasur. Nomor pinnya adalah tanggal dan bulan pernikahan kita!"
Bersambung ke bagian 4
No comments:
Post a Comment