Seri Novel Ayat-Ayat Cinta bagian 2
Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama
lengkapnya Syaikh Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini
sangat dekat denganku. Beliau tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali
berjumpa denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru
setengah tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al
Azhar. Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian
Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah
Islam di Mahad I’dadud Du’at [Sekolah Tinggi Juru Dakwah] yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas
Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang mahad ini baru ada dua: di Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama
dan kefashihannya membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat
memanggilnya "Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi
membela kebenaran membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan
masyarakat Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula
muda. Panggilan ‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut
sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis
Koptik yang aneh. Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.
"Akh Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum
menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau
sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer,
penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur
Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi
semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca
Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis
Mesir.
"Seperti biasa Syaikh,
ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau
langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad dulu juga
belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan
masih datang ke sana.
"Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak
sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan
juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya
dipundak kiriku.
“Semestinya
memang begitu Syaikh. Tapi saya hams komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah
janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.”
“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas
mihrab.
Waktunya sudah mepet.
“Syaikh,
saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri.
Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh Ahmad tersenyum
melihat penampilanku.
“Dengan
topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong saja. Tak
tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang hafal
Al-Qur’an.”
“Syaikh ini bisa saja,”
sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya. A ssalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah wa barakatuh.’’
Di
luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung menyerang.
Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku.
Ups, sampai juga akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket.
“Ya Kapten, wahid Shubrat [Kapten, Shubra satu!] seruku pada penjaga loket berkepala botak dan
gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas angin
kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang untuk
menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya
basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya
haj’.”
“Masyi ya Andones" [Baik, Orang Indonesia.] jawab
penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang
kuberikan dan memberi kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan
untuk membuka pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu
kuambil lagi. Sebab tanpa karcis
itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di
dalam metro karcis itu harus aku tunjukkan. Jika tidak bisa
menunjukkan, akan kena denda. Biasanya sepuluh pound. Itu pun setelah
dimaki-maki oleh petugas pemeriksa.
Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir dan Ramsis
kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya orang
Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,
‘Kalau
Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda berada di
salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke
Paris. Tapi aku pernah membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah
di kota Paris yang dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir
dengan Hieroglyph, huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan
patung-patung dan simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci
pyramid yang sekilas tampak seperti salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses
III, Amenophis III, Cleopatra dan lain sebagainya. Nuansa seperti itu sangat
kental di mahattah metro Anwar Sadat-Tahrir, yang berada tepat di
jantung kota Cairo.
Sebuah
metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan.
Beberapa orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik.
Aku masuk gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam
cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku
langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk
telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan,
bagaimana mungkin ini terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja
seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku mengerutkan kening.
Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak
dapat tempat duduk berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di
mana ada kipas angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak
berguna. Udara panas yang diputar tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari jendela juga panas.
Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak
jauh dari tempat aku berdiri memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas
senyumnya. la mendekat dan mengulurkan tangannya.
“Ana akhukum[Aku saudaramu], Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat
sopan. Ia menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang
muslim seperti dirinya.
“Ana akhukum, Fahri,” jawabku.
“Min Shin?" [Dari China?]
Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara
dengan orang
China.
“La.
Ana Andonesy" [Tidak. Aku orang Indonesia.]
Kami
pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan masalah bola.
Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama membicarakan
persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili. Ia ternyata
pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad Jibril juga
pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu mempertanyakan
lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung fanatik sebuah
klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub kesayangannya. Maka aku
langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan beberapa pemain andalan Zamalek.
Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang. Tujuanku memang membuat dia merasa
senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi membaca buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi
tentang bagaimana caranya mengambil hati orang lain. Pembicaraan terus melebar
ke mana-mana. Ia sangat senang ketika tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al
Azhar. Lebih kaget ketika ia tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.
Ia berkata,
“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang tak lain adalah
murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada
waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau
termasuk orang yang
beruntung, orang
Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat
Maadi.
“Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan berhenti dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”
Pintu
metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau
mau, aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah
baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku
kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih
kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau,
malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya
biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan
dari pintu dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada
yang lebih berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia
paham maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini
tentang Amerika. Ia geram sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan.
Kata-katanya menggebu seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi
semangat dunia Arab dalam perang 1967.
“Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan!
Setan harus dienyahkan!” katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara.
Kalau sudah bicara ia merasa paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan
Ashraf berbicara sepuaspuasnya. Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku
menyela. Sesekali aku menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke
luar jendela agar tahu metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku
menangkap perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan
membacanya dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat lirih
sehingga aku tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah pemandangan yang
tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah
Heliopolis, Dokki, El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan
Maadi adalah kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu
penting membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan
elite. Masing-masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para
diplomat tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan
Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh
kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat
sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di
kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang aku dapat dari Tuan
Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di Maadi. Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan
agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di Cairo.
Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Saw.
Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih
beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan
di benua Afrika itu.
Begitu
pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang
naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang
nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak
pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang
perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel. Pemuda bule
itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya
berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan memakai kaos
ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua bagian tubuhnya
menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia seperti tidak
berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat duduk. Sayang,
tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
‘‘Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
"Apa maksudmu?”
"Itu,
mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah kembali ke
Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak bertindak
bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan
raut tidak
senang. Tiba-tiba
ia berteriak,
" Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikuml’ [Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!]
Kontan para penumpang yang mendengar perkataan
Ashraf itu melongok ke arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis
anak-anak ayam yang kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah
orang-orang Mesir. Rautraut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian
perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang
menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir
sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat
Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin
berlaku semenamena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah
seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat
Kristen Koptik serta merta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika
dusta belaka. Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi
persaudaraan umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad
lamanya di bumi Kinanah.[Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.]
Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa
bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata
yang diucapkan Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan
apa saja. Di pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan
marah-marah pada isterinya. Entah karena apa. Ia menghujani isterinya dengan
sumpah serapah yang sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara
kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya bintalharam, ya syarmuthah, ya bintal
khinzir...![Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya Syarmuthah (Hai pelacur), Ya bintal khinzir (Hai anak babi)] Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang isteri juga tak mau kalah.
Ia membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan
sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk paling kasar.
Telingaku paling tidak suka mendengar caci
mencaci, apalagi umpatan melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali
Tuhan. Manusia jelasjelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa
pun dia. Semua manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam
Al-Qur’an, Wa laqad karramna banii Adam. Dan telah
Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada
manusia yang mencaci dan melaknat
sesama manusia?
Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu
sangat aku sesalkan. Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap
hari membaca Al-Qur’an. la telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara membacanya
saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga Allah memberikan
petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti
ini, kenapa bule-bule itu ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin
atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka
seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang
paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral.
Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi
teringat Majidov, teman dari Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya
Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru
dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang
dari Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa temannya di kawasan
Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya.
Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti
Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule
itu untuk duduk. Ini yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya
yang masih kuat tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka.
Biasanya, begitu melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang
langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu
mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang
duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda
Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka
bertiga akan turun di Tahrir. Tapi pemuda Mesir itu sama sekali tidak
menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau
karena ketidaksukaannya pada orang Amerika? Aku tidak tahu.
Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi
berdiri. Ia hendak duduk menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu
benar-benar menggelosor, tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan
duduk itu berteriak mencegah,
“Mom, wait!
Please, sit down here!’
Perempuan
bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek dituntun dua anaknya
beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk, perempuan bule muda berdiri
di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang sangat kontras.
Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada bagian dari
tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian
sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya
bule itu nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima
kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya
bagus. Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang.
Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang
ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benarbenar
berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa
Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f jadi
‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih.
Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata,
“Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya
lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat
manusiawi. ’
“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka
merah. Ia berdiri tepat di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan
kasar. Rupanya ia mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa
menangkap raut kagetnya sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap
adalah gerakan kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut,
kulit putih antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?’[Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana mukhthi’ah?] Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai bahasa fusha [Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan], bukan bahasa ‘amiyah [Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan harian.]. Maksudnya
bisa dipahami, tapi susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu
kaget atas bentakan pemuda Mesir itu.
Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah
semakin naik pitam. Ia kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan
bahasa ‘amiyah,
“Yakhrab baitik! Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada
di metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar,
sok alim, tapi sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu
sopan-santun apa? Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit
memberi pelajaran. Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah mempersilakan
setan-setan bule itu duduk. Dan seolah paling baik, kau sok jadi pahlawan
dengan memintakan maaf atas nama kami semua. Kau ini siapa, heh?”
Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya digunakan untuk mengumpat dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya)
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada
yang bertindak. Ashraf dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu
mendekati pemuda dan perempuan bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau
membela bule-bule Amerika yang telah membuat bencana di mana-mana. Di
Afganistan. Di Palestina. Di Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada
henti-hentinya menggoyang negara kita. Kau ini muslimah macam apa, hah!?”
Ashraf marah sambil menuding-nuding perempuan bercadar itu.
Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf
akan berkata sekasar itu. Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke
mana-mana, nilaimu tak lebih dari seorang syarmuthah!”[Syarmuthah: Pelacur] umpat lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan
baik-baik sehina pelacur tidak bisa dibenarkan.
Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali.
Aku sangat kecewa pada mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa.
Matanya berkaca-kaca. Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan
padanya memang sangat menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang
menutupi kopiah putihku. Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca mata
hitamku.
"Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan
nabi! [Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke atas nabi, bacalah shalawat ke atas nabi!] ucapku pada mereka sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan
mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di
seluruh Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan
meredamnya pertama-tama adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara ini
biasanya sangat manjur.
Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca
shalawat. Juga para penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan
orang bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi,
atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu penjelasan
Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir dalam meredam amarah.
Justru jika ada orang sedang marah lantas kita bilang padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang malah akan membuat
ia semakin marah.
Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang
dilakukan perempuan bercadar itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru
sebaliknya. Dan umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan
dan tidak bisa dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka
bukannya sadar, tapi malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela
diriku dengan sengit. Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf
bilang, "Orang Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan kami!”
Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat.
Aku nyaris kehabisan akal. Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk
menyadarkan mereka. Tapi orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan
merasa paling menang sendiri.
Pemuda Mesir malah menukas sengak, "Orang
Indonesia, kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa
Arab saja baru kemarin sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu!
Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur
urusan kami!”
Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana
caranya menghadapi anak turun Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku
melirik Ashraf. Mata kami bertatapan.
Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan
denganku tadi. Kami pernah akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan
bahasa mata mencela. Ashraf menundukkan kepalanya, lalu berkata,
"Kapten, kau tidak boleh berkata seperti
itu. Orang Indonesia ini sudah menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program
magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh
mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang
terkenal itu.”
Pembelaan
Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak itu melirik
kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan kepadaku.
Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima begitu saja.
"Dari mana kau tahu? Apa
kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf tergagap, "Tidak. Aku tidak teman
kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan dengannya tadi.”
"Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia
berbohong. Program magister di Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman
juga tidak mudah.” Lelaki itu mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan
berkata, "Hei orang Indonesia, kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana
kartumu!?”
Lelaki itu membentak seperti polisi intel.
Berurusan dengan orang awam Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi
jika mereka sudah tersentuh hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa
bersahabat. Itulah salah satu keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas
cangklongku. Kuserahkan dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu
keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya itu, aku juga
menyerahkan selembar tashdiq resmi dari universitas. Tasdiq yang akan
kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu depan.
Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa pemiliknya benar-benar mahasiswa pada fakultas, jurusan dan program tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya diperlukan untuk urusan-urusan resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji, meminta atau memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.
Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan
tashdiq yang masih gres itu dengan seksama. Ia manggut-manggut,
kemudian menyerahkannya pada pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang
ada di sampingnya.
“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid
Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh
menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan.
Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah
lebih mencair. Bahkan ada gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada
di depan mata, orang Mesir mudah luluh hatinya.
“Maafkan
kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini tidak pantas
dibela. la telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju
kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas. Sesekali debu masuk
berhamburan.
“Terns terang, aku sangat kecewa pada kalian!
Ternyata sifat kalian tidak seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau
pernah bersabda bahwa orang-orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau
memerintahkan kepada shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya
bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar. Aku yakin kalian
bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya sebangsa Bani Israel. Orang
Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan
pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan membuat hati orang Mesir yang
mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik.
“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang
emosi tadi. Tapi jangan kau katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau
katakan kami ini sebangsa Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan
Syaikh Sya’rawi rahimahullah” lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh
Sya’rawi memang seorang ulama yang sangat merakyat. Sangat dicintai orang
Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal dan mencintai beliau. Mereka sangat
bangga memiliki seorang Sya’rawi yang dihormati di seantero penjuru Arab.
“Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli
sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya
lembut penuh kasih sayang. Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi
Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali,
Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr,
Syaikh Ismail Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang
Mesir asli yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan
manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak
memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian.
Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu
kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang
bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir
yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian bahkan
menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan dan tidak
layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! ”
"Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah
jika kami sedikit saja mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran
sedikit saja pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih
berusaha membenarkan tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir,
selalu merasa benar. Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang
seterang matahari.
"Kita semua tidak menyukai tindak
kezhaliman yang dilakukan siapa saja. Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi
tindakan kalian seperti itu tidak benar dan jauh dari tuntunan ajaran baginda
Nabi yang indah.”
"Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana?
Ini mumpung ada orang Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu
bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke
negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada
mereka!”
"Justru tindakan kalian yang tidak dewasa
seperti anak-anak ini akan menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini
beranggapan orang Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda
Rasul mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda,
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka
bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu
jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya
terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi jangan sekali-kali
kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang
tidak menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju
kotak-kotak menunduk. Ashraf membisu. Para penumpang yang lain, termasuk
perempuan bercadar juga diam. Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali
mencericit.
“Coba
kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti Rasulullah?!”
tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka agak terkejut
mendengar pertanyaanku itu.
“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami
cintai,” jawab Ashraf.
“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani
berseteru di hadapan Allah melawan Rasulullah?” tanyaku lagi.
“Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir
kelak mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan
beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat
lancang. Kalian telah menyakiti Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah
untuk berseteru di hadapan Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit
keras.
Lelaki
setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki setengah baya
sedikit emosi.
“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan
sangat malu pada diriku sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan.
Baiklah, biar aku jelaskan. Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai
apakah aku berkata sembarangan atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga
orang bule ini selain tamu kalian mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan
Rasul-Nya, dan dalam jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang berada di dalam negara
tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak
mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan
darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak
boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk
ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat
paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita
lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah kalian dengar sabda
beliau, Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu
zhimmah) maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya
dia pasti kalah di hari kiamat.’[Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik] Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi,
dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.’[Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.] Begitulah Islam mengajarkan bagaimana
memperlakukan non muslim dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan
baik-baik di negara kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata, Begitu membayar jizyah, harta mereka
menjadi sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama nilainya
dengan darah kita.’ Dan para
turis itu telah membayar visa dan ongkos administrasi lainnya, sama dengan
membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta,
kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersamasama. Jika tidak, jika kita
sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita
juga telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti Allah dan
Rasul-Nya, maka siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti
ajaran baginda Nabi?”
Lelaki
setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu
mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup
kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah
yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!” [Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan!] Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.
Setelah itu giliran Ashraf
merangkulku.
“Senang sekali aku bertemu
dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku
tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu mempersilakan pria
bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat duduknya. Dua pemuda
Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan mempersilakan pada perempuan
bercadar dan perempuan bule untuk duduk.
Begitulah.
Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah
penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan
kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan
luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah
meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas.
Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa.
Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf mendekatkan diri ke pintu. Ia
bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab
dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak
lama kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki
setengah baya hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan mengucapkan
terima kasih sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin
berkalikali. Topi dan kaca mata hitamku kembali aku pakai. Tak jauh dariku,
perempuan bercadar nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit
telingaku menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang
menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada
Amerika. Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan.
Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang tadi
aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu
menganggukanggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun setelah
terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang duduk di samping
nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di sana kalau mau. Tapi
kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk. Langsung kupersilakan
dia duduk.
Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule
masih berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar
dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela.
Aku memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur
seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu
lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik.
Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau
turun di Tahrir. Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan bule.
Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka
bicarakan. Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di
Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan
Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. la
berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama.
Perempuan
bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh
perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil
mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,
“Hai Indonesian,
thank’s for everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di
depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda.
Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan
dengan perempuan selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak
salah faham.
Alicia
tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card,
for you.” Ia memberikan
kartu namanya.
“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
“It’s a
pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia,
neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan bercadar masih
berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang yang hendak turun.
Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun, perempuan bercadar itu
bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku,
“Indonesian,
thank you.”
Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan
bahasa Jerman,
“Bitte!”
Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar
jawabanku dengan bahasa Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap
diriku dengan sorat mata penuh tanda tanya.
“Sprechen Sie Deutsch?[Kau berbicara bahasa Jerman] tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin
langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar
bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
“Ja, ein wenig [Ya. Sedikit-sedikit.] Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap
dengan bahasa Jerman
insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat tesis dengan bahasa
Jerman baru menyerah.
“Sind Sie Herr
Fahri?' [Apakah Anda tuan Fahri.]
Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti ia
benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir tadi
sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan Alicia.
“Ja. Mein name ist
Fahri.’[Ya nama saya Fahri.] Jawabku.
“Mein name ist Aisha,’ sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu
menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.
“Bitte, schreiben
Sie ihren namen!" [Maaf, bisa tuliskan nama Anda.] katanya.
Kuterima
buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu tidak sekadar
nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon. Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan
nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung
bergegas turun sambil berkata,
“Danke, auf wiedersehn!’’ [Terima kasih, sampai bertemu lagi.]
“Auf wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk.
Sudah separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu
masih cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya.
Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa
dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang dan
memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.
No comments:
Post a Comment